Fungsi dan Peran Kapalli’

Kapalli’ sebagai hal yang dihubungkan dengan perbuatan tabu memiliki 3 (tiga) kategori utama yakni: Pappasang, Pappisangka, dan Pau-pau naseha’. Untuk kategori kapalli’ pertama, diyakini sebagai pesan leluhur yang tidak diperkenankan seseorang untuk melanggar atau mencoba melakukan sebab hal ini dipercaya sebagai karma (balasan yang pasti terbukti). Karena itu, dianjurkan orang tua mengajarkan hal-hal ini kepada anaknya sejak usia kanak-kanak (tahap pengenalan) hingga masa dewasa (pentingnya pengamalan). Pengabaian atas hal ini, sama artinya seseorang menyatakan diri bersiap menerima sejumlah sanksi dalam wujud kejadian-kejadian aneh.
Kapalli’ dalam kategori kedua, yakni berhubungan dengan larangan melakukan sesuatu karena diyakini telah terbukti dalam banyak hal meski tidak selamanya terjadi. Karena itu, kepada siapapun dianjurkan agar sabaiknya menghindari hal-hal yang tidak diperbolehkan tersebut dengan pertimbangan untuk terbebas dari kemungkinan-kemungkinan mengalami sesuatu kejadian (musibah, malapetaka).
Kapalli dalam kategori ketiga, yakni berhubungan dengan nasehat (etika) yang bertujuan baik terutama sebagai alat rekayasa sosial. Maksudnya, bahwa tindakan mempercayai kapalli’ dengan sejumlah sanksi dan akibat yang ditimbulkan, dapat menjadi alat pengontrol sosial. Dengan demikian, nilai-nilai luhur tetap terpelihara dalam berbagai bentuk interaksi sosial, sekaligus berfungsi sebagai strandar perilaku bagi anggota masyarakat.
Keberadaaan kapalli’ (pantangan) sebagai suatu institusi sekaligus sistem sosial mempunyai fungsi untuk mengatur (mengontrol) dan menentukan perilaku maupun kecenderungan setiap individu dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Hal ini dapat terjadi karena proses pemaknaan terhadap nilai pesan kultural tersebut, telah berlangsung dalam interval waktu yang relatif lama, sehingga tindakan sosial yang telah terpola itu menjadi sebuah sistem sosial yang diyakini bersama (kolektif). Selain itu, adanya persamaan kepercayaan, identifikasi, dan asal-usul, sehingga nilai kapalli’ dapat terintegrasi dalam suatu kelompok.
Dalam hubungannya tindakan sosial, maka Kapalli’ sebagai pesan kultural dalam masyarakat Selayar sekaligus institusi sosial, dalam konteks ini dipahami sebagai fungsi kontrol terhadap tindakan individu. Hal tercermin melalui larangan menghina orang lain termasuk yang miskin atau menertawakan orang cacat fisik, seperti pada ungkapan: ”gele kulle assalla, kapalli’i” (tindak boleh menghina orang lain, pemali atau pantang). Maksud yang terkandung dalam pesan kultural ini, yakni ajaran leluhur yang tidak dibenarkan tindakan menghina orang lain karena boleh jadi dalam kepercayaan mereka akan ada balasan yang lebih dari itu. Mungkin ini terjadi secara tidak langsung, akan tetapi terbukti pada anak (keturunan) atau cucu yang mengalami nasib serupa.
Implikasi sosial dari pemaknaan terhadap pesan leluhur yang melarang menghina atau menertawakan orang lain tersebut, yakni menimbulkan rasa takut bagi mereka untuk melanggarnya dengan pertimbangan bahwa akan berdampak negatif terhadap keluarganya termasuk keturunan ataupun cucunya. Dalam konteks yang lebih luas lagi, unsur fungsional dari kappalli’ ini akan dihubungkan dengan konsep motivasional dan orientasi nilai.
Contoh larangan (kapalli’) lainnya yang menarik dikaji, yakni larangan berkeliaran atau mondar-mandir di luar rumah bagi anak-anak menjelang sholat magrib (saat matahari hendak terbenam di ufuk barat). Menurut kepercayaan masyarakat Selayar, bahwa menjelang magrib bukan hanya makhluk sebangsa manusia yang beraktivitas (atau menggunakan jalan raya), akan tetapi bangsa jin atau setan dan jenis makhluk halus lainnya pun beraktivitas pada saat ini. Karena itu, lahirnya larangan untuk berkeliaran dimaksudkan agar tidak diganggu oleh makhluk halus hanya karena kebetulan kita bertabrakan atau menyenggol anak-anak mereka yang dapat menyebabkan mereka murka.
Akibat dari murka mereka dapat menyebabkan anak-anak tak terkecuali orang dewasa, menderita sakit yang biasanya diawali dengan muntah-muntah berwarna kuning (tapi tidak selamanya). Untuk menyebut mereka yang menderita sakit atau muntah-muntah yang disebabkan oleh perbuatan setan ini, dalam bahasa setempat dinamakan Lasampero Setang. Bahkan menjelang magrib pun sangat dilarang mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi terutama pada tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan sang pengendara menabrak makhluk halus yang dipercayai berkeliaran itu.
Untuk terhindar dari kemungkinan mengalami hal-hal seperti itu, maka ada beberapa cara yang ditempuh antara lain:
(1)  masuk ke dalam rumah saat menjelang magrib,
(2) jika dalam keadaan terpaksa berada di perjalanaan pada waktu sepeti ini, maka dianjurkan mengucapkan kata “tabe” setiap kali melintas di persimpangan jalan, tikungan, dekat kuburan, dan tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya,
(3)  mengucapkan salam (assalamu alikum) saat mendatangi tempat tertentu,
(4) mengucapkan/ membaca surat Al-Ikhlas saat berjalan atau mengendara yang dimaksudkan agar setan menjauh. Hal ini tentu saja menjadi kebiasaan masyarakat Selayar sejak masuknya pengaruh Islam di daerah ini, bahkan beberapa surah pendek yang ada dalam al-Qur’an dijadikan sebagai alat pengusir setan (pa’bongka setan).
Khusus bagi mereka yang terlanjur mengalami kejadian (sakit) karena pengaruh Sampero Setan, maka proses penyembuhannya harus dipercayakan kepada mereka yang ahli (sanro). Selain diobati secara non-medis, biasanya penderita juga dianjurkan untuk menghidangkan sesajen di tempat kejadian dan salah satu jenis persembahan itu dinamakan abberasa didi (menghidangkan sesajen berupa beras berwarga kuning).
Sebuah kapalli’ yakni Appabangngi pabbissa manroang (membiarkan mangkok cuci tangan saat makan tidak tercuci hingga pagi) juga menarik untuk dikaji lebih mendalam. Betapa tidak, secara fungsional kapalli jenis ini memiliki tujuan ganda yakni sebagai tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya pencurian dengan memanfaatkan hal ini untuk menyukseskan niat jahatnya. Dalam pengertian lain bahwa hal ini terkait dengan keahlian atau ilmu kesatian yang dimiliki oleh para pencuri yang mampu membuat seluruh penghuni rumah tertidur pulas hanya dengan memercikkan sisa air cuci tangan di mangkuk ke muka mereka. Inilah alasannya mengapa dianggap pemali membiarkan perabot rumah tangga ini dibiarkan tidak tercuci hingga pagi hari tiba.
Selain itu, tujuan lain dari larangan yang dianggap tabu ini yakni semacam alat rekayasa sosial yang dimaksudkan sebagai alat yang membuat kaum perempuan terutama anak gadis tidak malas mencuci piring. Dalam pengertian lain bahwa secara tidak langsung kategori kapalli’ seperti ini mengandung nilai-nilai pendidikan dalam wujud pembiasaan melakukan sesuatu.

Implementasi Kapalli’ di Era Modern 

Kapalli’ baik sebagai istilah maupun pesan kultural bermakna pantangan, dalam perkembangannya telah dimaknai beragam yang ditentukan oleh seberapa besar kadar kepercayaan dan keyakinan seseorang. Karena itu, motif atas keyakinan kukuh sebagian orang terhadap pesan kultural ini, serta penyebab memudarnya nilai karena pengaruh modernisasi dalam wajah rasionalisasi tindakan menjadi inti kajian dalam tulisan ini.
Permasalahan sekitar bagaimana orientasi-orientasi individu dan tindakan-tindakan mereka terjalin dalam suatu sistem sosial, pada prinsipnya dipengaruhi oleh dua elemen dasar yakni orientasi motivasional dan orientasi nilai. Menurut Parson bahwa orientasi motivasional merujuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Sementara itu, orientasi nilai merujuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dalam perioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan yang berbeda (Johnson, 1986: 114-115).
Orientasi motivasional, mencakup 3 dimensi yakni:
(1) Dimensi kognitif, yakni merujuk pada pengetahuan orang yang bertindak itu mengenai situasinya, khususnya kalau dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan dengan rangsangan lainnya;
(2) Dimensi katektik, yakni merujuk pada reaksi apektif atau emosional dari orang yang bertindak itu terhadap situasi atau pelbagai aspek di dalamnya. Hal ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan; dan
(3) Dimensi evaluatif, yakni merujuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektik secara alternatif. Orang selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk kebanyakan atau kalau bukan semua situasi, ada kemungkinan banyak interpretasi kognitif dan reaksi katektik. Kriteria yang digunakan untuk memilih dari alternatif ini merupakan dimensi evaluatif.
Untuk mengungkap seberapa eksis dan terimplementasi nilai-nilai luhur atau kearifan lokal ini masyarakat Selayar di era modern sekarang, maka data dari informan yang dijaring untuk sementara divariasikan berdasarkan jenis data yang diperlukan.
Elemen pertama yang sangat penting untuk dimintai keterangan adalah para tokoh masyarakat, antara lain:
(1) tokoh agama, dimaksudkan untuk memperoleh keterangan mengenai seberapa kuat pengaruh Islam terhadap perubahan orientasi nilai budaya lokal atau sebaliknya;
(2) tokoh adat, dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai masih seberapa eksis nilai-nilai luhur tersebut; dan
(3) aparat desa, dimaksudkan untuk menjaring data mengenai masih seberapa kuat pengaruh kearifan lokal terhadap sistem pemerintahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kalangan tokoh masyarakat, pun berbeda secara diferensiasif dalam memaknai kapalli’ tersebut. Hal ini tentu saja disebabkan oleh perbedaan sudut pandang masing-masing pihak mengenai fungsi dan orientasi nilai yang dikandungnya. Sebut saja Pak Sirajuddin yang akrab disapa Dg. Sira’ adalah tokoh agama sekaligus seorang guru pada salah satu Sekolah Dasar di Selayar, mengatakan bahwa:

Kedudukan kapalli’ sebagai pedoman hidup, sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Malahan keduanya bisa saling melengkapi dimana ajaran Islam memuat perintah dan larangan dan dalam kapalli’ juga mengandung semacam larangan yang tujuannya baik. Jadi, sama-sama berfungsi mengatur kehidupan masyarakat. Malahan jika orang tidak perduli pada sesuatu yang termasuk kapalli’, maka langsung mendapat ganjarannya sehingga orang banyak yang patuh karena takut. Cuma sayang sekali karena generasi sekarang, kurang percaya lagi dan nanti setelah ada yang menimpa dirinya baru percaya (wawancara, 17 Juni 2009).

Keterangan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa kedua sistem norma yakni tradisi lokal dan Islam dapat saling melengkapi dalam banyak hal terkait dengan kehidupan bermasyarakat. Bahkan ia secara tidak langsung hendak menyampaikan bahwa ”lebih takut” kepada sanksi kapalli’ yang langsung diperoleh ganjarannya daripada ancaman dosa yang selalu dihubungkan dengan hari akhirat (hari kemudian). Selain itu, ia juga telah mengungkapkan wujud keprihatinannya pada implementasi nilai-nilai luhur ini dalam kehidupan bermasyarakat sekarang.
Wujud keprihatinan atas mulai memudarnya nilai-nilai luhur bernama kapalli’ pada masyarakat Selayar, juga tercermin melalui pengakuan yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh adat. Lelaki tua yang berprofesi sebagai tukang basa (pembaca mantra dalam berbagai ritual tolak bala) ini akrab disapa Papa Samado’, menjelaskan bahwa saat ia melakukan ritual tolak bala (songkabala, Selayar) beberapa tahun belakangan ini sudah sangat kurang pesertanya. Mengenai penyebabnya, ia menjelaskan: ”mungking kurang tappa’mo tauyya, jari gelemo laporhatikang”. Ungkapan ini bermakna mungkin orang kurang percaya sehingga tidak terlalu diperhatikan lagi (Wawancara, 18 Juni 2009).
Sekadar digambarkan bahwa ritual songkabala (tolak bala) ini, di kalangan masyarakat Selayar (tapi tidak semua) dahulu merupakan hajatan tahunan yang rutin pelaksanaannya. Bahkan menurut keterangan salah seorang warga bahwa bukan hanya penduduk setempat yang meramaikan acara ini, tetapi orang Selayar yang merantau pun sesekali datang (pulang kampung) untuk berpartisipasi. Tujuan ritual ini menurut Samado’ antara lain adalah menghalau atau menangkal datangnya wabah penyakit atau bencana ke dalam kampung. Konon penyakit atau musibah akan menimpa suatu kampung, manakala sudah banyak bentuk pelanggaran norma yang dilakukan oleh warganya (termasuk dalam hal ini pengabaian terhadap kapalli’).
Keterangan menarik lainnya mengenai eksistensi kapalli’ di era modern sekarang, yakni sebagaimana yang diungkap salah seorang tokoh masyarakat bernama Papa Lihing, sebagai berikut:

”ana-ana’ konni-konni susai, nasaba kurangmo tappa injo mange ri pau-pau tau toa. Pappisangka labua’mo kelong-kelong, pappasang tau ri olo lapa ri boko tolimo. Jari sauang tommo, manna tarumpappi nampai sadara” (wawancara, 19 Juni 2009).

Terjemahan:

”Generasi muda sekarang tampak kurang percaya lagi pada nasihat orang tua. Sebagai contoh larangan dianggap bak nyanyian, pesan-pesan leluhur tak didengar lagi. Jadi biarkan saja, nanti setelah kena batunya baru mereka sadar”.

Ungkapan tersebut juga menunjukkan keprihatinan seorang tokoh adat atas semakin memudarnya nilai-nilai luhur lokal yang seharusnya menjadi pedoman hidup bermasyarakat. Bahkan satu hal menarik dan sedikit agak ironis yakni generasi muda yang kurang pecaya lagi pada kapalli’, setelah terbentur pada sesuatu baru mempercayainya. Hal ini diakui sendiri oleh Lihing tadi bahwa banyak di antara mereka yang berkunjung ke rumahnya untuk menanyakan banyak hal, misalnya: mengenai penyebab penyakit aneh yang diderita seseorang, perempuan yang telat dapat jodoh, anaknya cacat, usia perkawinannya tidak lama, dan sebagainya.
Mengenai implementasi kapalli’ di era modern sekarang, menarik dihubungkan dengan padangan informan sebagai berikut:

Kalau saya berpikir rasional, tentu saya mengatakan bahwa kapalli’ itu adalah suatu hal yang tidak wajar dipercayai. Tetapi kita masih sering lihat kejadian yang persis sama dengan ketentuan kapalli’ yang dilanggar dari aktivitas sebelumnya. Oleh karena itu, terkadang saya berpikir bahwa mungkin ada rahasia Tuhan yang belum saya ketahui sehubungan dengan kapalli’. Jadi saya masih berada di antara percaya atau tidak (Wawancara dengan Muhammad Aspah, Agustus 2009).

Uraian tersebut menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Selayar masih ada yang mempercayai kapalli’ dengan berpedoman pada beberapa kejadian yang terbukti dialami oleh mereka yang mengabaikan pesan kapalli’ tersebut. Hal ini dapat kita ketahui melalui keterangannya yang lain sehubungan dengan pertanyaan penelitian mengenai apakah ia pernah melihat atau mendengar kejadian yang dialami oleh seseorang karena melanggar kapalli’, sebagai berikut:

”..... ya. Saya pernah. Salah satu contoh bukti yang biasa saya kemukakan di sini adalah: contoh kapalli yakni ’seorang suami kapalli’ menyembeli hewan ketika istrinya dalam keadaan hamil, karena dapat berakibat bukuruk terhadap janin yang dikandungnya (anaknya akan cacat)’. Ketentuan kapalli’ ini pernah dilanggar oleh seorang suami dan ternyata setelah bayi yang dikandung oleh istrinya lahir, leher bayi itu luka seperti bekas sayatan pisau. Mungkin saja itu hanya kebetulan, akan tetapi begitulah kenyataannya. Wallahu a’lam bissawab” (Wawancara, Muhammad Aspah, Agustus 2009).

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa masih ada sisa kepercayaan akan kapalli’ tersebut berdasar pada sejumlah kejadian yang meski kerap dianggap suatu yang kebetulan. Bukti kejadian terkait dengan kapalli’ juga dapat diketahui melalui keterangan sebagai berikut:

Kapalli’ adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan bertujuan agar setiap orang senantiasa berhati-hati dalam setiap pelerjaan. Sebagai contoh dapat saya kemukakan bahwa penah sepupu saya menolak ajakan makan dan meninggalkan rumah, ternyata ia mendapat kecelakaan (tabrakan). Jadi kapalli’ tergantung pada jenisnya yang membuat kita percaya atau tidak (Wawancara Hj. Andi Nur Asia, Agustus 2009).

Uraian tersebut menunjukkan bahwa kapalli’ masih dipercayai sebagai hal yang sakral sifatnya sehingga setiap orang harus hati-hati dalam bertindak. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa di antara rasa percaya dan tidak pada akibat kapalli’ ini, terkadang kondisinya atau bahkan fakta terbentang di depan mata. Karena itu, apakah sederet kasus kejadian yang menimpa seseorang yang terlibat pelanggaran atas kapalli’ tersebut harus dianggap sebagai sesuatu yang kebetulan?. Lalu bagaimana pula dengan anggapan bahwa sang pencipta hanya menciptakan sebab akibat?, Inilah pertanyaan yang membutuhkan jawaban secara arif.
Berdasarkan keterangan siswi kelas II pada salah satu SLTP di Selayar, bahwa dia sering mendengar dari orang tua tentang kapalli’ terutama saat sang ibu atau ayah menegur perbutannya dengan ucapan jangan begitu tidak baik (kapalli’). Hanya saja menurutnya, sangat disayangkan sekali karena sesuatu yang katanya tabu itu, tidak didasarkan atas alasan yang bisa masuk akal sehingga dapat dipercaya. Maksudnya, bahwa ketika sang anak menanyakan kenapa sesuatu itu dianggap kapalli’, maka jawabannya hanya mengatakan ”pokoknya dilarang menurut orang tua dulu”. Bahkan menurut pengakuan siswi ini, bahwa jika ia mencoba menanyakan alasan mengapa disebut kapalli’ maka dirinya dianggap terlalu cerewet (Salmi, wawancara 16 Juni 2009).
Keterangan lain diperoleh dari beberapa orang siswa yang mayoritas menjawab seragam, bahwa mengenai kapalli’ mereka tidak terlalu paham kecuali sering mendengar dan tanpa mengetahui apa maknanya. Demikian pula di sekolah mereka, menurut pengakuannya tidak pernah diajarkan sebagai bagian materi muatan lokal. Bahkan ada di antara mereka yang mengaku bahwa guru agamanya justru menganggap tidak perlu mempelajari hal-hal tersebut, karena dianggapnya tidak di ajarkan dalam agama Islam.
Uraian mengenai keterangan yang diberikan oleh siswa tersebut, menunjukkan bahwa dalam kenyataannya kapalli’ sebagai institusi sosial (kearifan lokal) tidak diwariskan (disosialisasikan) melalui fungsi keluarga. Hal ini terbukti bahwa si anak rupanya mengenal kapalli’ sebatas istilah saja tanpa mengetahui apa makna yang dikandungnya. Hal inilah yang kemudian menjadi hal menarik, karena keingintahuan siswa/anak sebagai peserta didik terhadap sesuatu tidak didukung oleh kemauan (kesadaran) orang tua untuk menjadi teman diskusi (sharing partner). Karena itu, keengganan para orang tua sebagaimana antara lain tampak pada contoh kasus ini, menunjukkan bahwa prospek kapalli’ dalam ancaman yang sangat serius terutama ada gejala suatu saat akan hilang sama sekali.

”Menghidupkan” Kembali Kearifan Lokal 

Bila merujuk pada perspektif Bohannan (1963: 17) tentang kekuatan norma atau kaidah yang mengikat kehidupan bermasyarakat, maka dapat diketahui bahwa nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Selayar memang mengalami dilema pada prospeknya dan bahkan terancam punah. Sebut saja cara-cara (usages) terkait kearifan lokal dalam bentuk norma kekuatannya sudah sangat lemah mengikat. Selain itu, kebiasaan (folkways) sebagai norma yang mengikat individu, tata kelakuan (mores) sebagai cerminan sifat dasar dari kehidupan manusia dan dilaksanakan sebagai alat pengawas, baik secara sadar, tampak kurang mendapat perhatian lagi. Bahkan adat istiadat (custom) sebagai tata kelakuan yang bersifat “kekal” dan terintegrasi dengan pola perilaku masyarakat juga sudah tampak mengalami degradasi nilai.
Perubahan orientasi nilai pada pesan kultural bernama kapalli’ tersebut, harus diakui sebagai konsekuensi logis dari efek modernitas yang telah merubah cara berpikir manusia. Sebut saja kencenderungan manusia untuk menakar dan memaknai sesuatu dengan hanya mengandalkan kekuatan rasionya (sebagai salah satu ciri manusia modern), pada gilirannya menepis ke pinggir nilai-nilai luhur lokal sehingga perlahan-lahan tersingkir secara eliminatif.
Arus evolusi modernitas yang telah (sedang) menenggelamkan fungsi kapalli’ sebagai kearifan lokal masyarakat Selayar tersebut, memang perlu disegarkan kembali dan bahkan setelah ia mati sekalipun harus dihidupkan kembali dalam bentuk renaissance. Betapa tidak, hal-hal yang dalam pandangan banyak orang ini adalah irrasional rupanya memiliki dimensi fungsional terutama sebagai alat kontrol dan rekayasa sosial. Dengan kata lain bahwa pentingnya meta kognisi mengenai kapalli’ merupakan gerakan kebudayaan berdimensi historis yang perlu dilakukan.
Dalam kaitannya dengan strategi kebudayaan untuk merasionalkan hal-hal yang irrasional (sebagai penyebab orang tidak percaya kapalli’), maka sangat menarik mengutip pernyataan Ely Devons dan Max Gluckman tentang “logika hal irrasional” (David Caplan dan Robert A. Manners, 2002: 165-166). Menurutnya, bahwa banyak di antara institusi (lembaga, pranata) masyarakat primitif yang kelihatan ganjil dan irrasional di mata pengamat awam. Namun di balik irrasionalitas itu, institusi-institusi tersebut sesungguhnya rasional walaupun partisipannya sendiri tidak menginsyafi rasionalistas itu.
Maksud dari pernyataan tersebut, sesungguhnya terkait dengan kencenderungan banyak orang yang memahami hal-hal yang dianggapnya irrasional lalu membenturkannya dengan subsistem ideologi tertentu. Disinilah pentingnya apa yang disebut Evans-Pritchard sebagai “tafsir pribumi” (David Caplan dan Robert A. Manners, 2002) untuk memahami suatu produk budaya semisal kapalli’.
Dalam kaitannya dengan kecelakaan atau kejadian aneh yang menimpa seseorang, maka kapalli’ dalam konteks ini merupakan representasi teori atau penjelasan orang Selayar mengenai alasan musibah yang menimpa seseorang pada saat dan waktu tertentu. Sebagai contoh, seorang yang diajak makan tetapi memilih pergi dan dalam perjalanan ia mati tertimpa pohon yang sedang tumbang. Orang Selayar tahu persis bahwa pohon itu (bukan kapalli’) yang memecahkan kepala si orang tadi. Akan tetapi pertanyaan yang hendak dijawab oleh orang Selayar ini, yakni mengapa orang itu mesti melintas saat pohon akan tumbang?. Teori kapalli’ menjelaskan koinsiden itu dan memberikan jawabannya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa kapalli’ sebagai pesan kultural yang kerap dimaknai sebagai hal yang irrasional, semestinya tetap diberi tempat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Maksudnya, bahwa penekanan intelektualitas atau kognitif dalam menafsir produk budaya ini serta sistem kerpercayaan yang ada padanya tidak bermaksud menggusurnya. Sebaliknya, harus disikapi sebagai bagian integral dari sistem sosial budaya yang berfungsi saling melengkapi dengan unsur-unsur budaya lainnya.
Pendekatan ke arah perasionalan hal-hal yang dianggap irrasional seperti halnya kapalli’, merupakan sebuah strategi kebudayaan yang handal dalam menemukenali serta melestarikan kearifan lokal. Selain itu, dengan meletakkan kacamata ideologi tertentu dan menggantinya dengan kesadaran kultural, maka aspek fungsional sekaligus alat rekayasa sosial dari kapalli’ dapat digunakan sebagai kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini terntu saja akan berfungsi secara definitif jika ditopang oleh beberapa unsur terkait, seperti: fungsi keluarga, lembaga pendidikan, instansi terkait, dan sebagainya serta kesadaran budaya merupakan hal yang tidak kalah penting.

Simpulan dan Saran

Pustaka Acuan

Becker, Howard S. 1963. Outsiders: Studies in the Sociology of Deviance. New York: The Free Press.
Beikharz, Peter. 2003. “Social Theory: A Guide to Central Cultural Thinkers”. Terjemahan Sigit Jatmiko. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Benedict, Ruth. 1934. Pattern of Culture. Boston: Houghton Miffien and Co.
Bogardu, S. Emory. 1961. The Social Order: An Introduction to Sociology. New York: Mc Graw Hill Book Company.
Bohannan, Paul. 1963. Soscial Antropology. New York: HoltReinheinehart and Wiston.
Donald L. Hardesty. 1977. Ecological Antropology. New York: University of Nevada, Reno.
Johnson, Doyle Paul. 1986. “Sociological Theory :Cassical Founders and Contemporary Perspective” terjemahan Robert M.Z. Lawang Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.
Fritzsimon, Stephen. 1979. Rural Community Develpmnent: A Program Policy and Research Model. Massachusets: Cambridge University.
Garna, Judistrira K. 1999. Metode-Metode Penelitian Sosial. Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Hamid, Abdullah. 1984. Perubahan Sosial di Kalangan Masyarakat Bugis di Linggi Kesannya ke Atas Masalah Kepemimpinan. (Disertasi P.hD). Kuala Lumpur : University of Malaya Press.
Hamid, Abu. 1972. Budaya Bugis Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin Press.
Hoogvelt, Ankie M.M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Rajawali.
Horton, Paul B. 1987. “Sociology” diterjemahkan oleh Aminuddin Ram dan Tita Subari. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Iver, R.M. Mac Iver dan Charles H. Page. 1961. Society : an Introductory Analysis London: Macmillan & C. Ltd.
Koentjaraningrat. 1980. Antropologi di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kroeber ed. 1953. “Universal Categories of Culture” dalam Majalah Antropology to day. Chicago: Chicago University Press.
Moore, Wilbert. 1979. World Modernization : The Limits of Convergence. New York: Elsivier.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Parson, Talcot dan Edward Shills Ed. 1965. Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row.
Remmling, Gunter W. 1970. Basic Sociology: An Introduction to the Study of Society. New Jersey: Littlefield, Adam & CO.
Sanderson, Stephen K. 1995. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Singarimbun, Masri dan Efendy Sopyan. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Soekmono. 1972. Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Soemarjan, Selo. 1972. Sosiologi Indonesia. Jakarta: Bratara.

adsbyGoogle